“Jilbab Merah untuk Liyah”
(Karya
: Siti Jamaliyah)
Ketika malam tiba,seperti biasanya
aku bersama teman-temanku berangkat menuju tempat favorit kita yakni menuju
club malam. Ya, setiap malam aku selalu menghabiskan waktuku bersama
teman-teman di tempat tersebut. Disanalah tempatku untuk menghilangkan sedikit
bebanku karena banyak masalah yang ada dirumahku. Ditempat ini, aku meminum
minuman keras dan tidak terkecuali memakai obat-obatan terlarang. Semua itu aku
lakukan karena memang kurangnya kasih sayang dari orangtuaku,mereka selalu
memikirkan uang..uang..dan selalu uang. Belum lagi ketika dirumah mereka selalu
bertengkar hanya karena hal yang sepele yang selalu di besar-besarkan.
Sebut saja aku Liyah, seorang
siswi kelas 12 di SMAN 1 Karya Bhakti. Dulu ketika aku masih duduk di sekolah
dasar aku di kenal pendiam, tetapi setelah memasuki masa remaja atau sejak SMP
sifatku yang pendiam itu mulai tergantikan dengan sifatku yang nakal. Ya
mungkin karena faktor pergaulannya dan memang aku tidak pernah mendapatkan
kasih sayang orangtua. Sejak kecil aku dirawat sama bi Inah, seorang pembantu
rumah tangga yang lebih aku anggap sebagai pengganti orangtuaku. Akan tetapi,
bi inah sudah tidak bekerja lagi di rumahku dan entah dimana keberadaannya saat
ini.
Malam itu, pukul 02.00 aku
memutuskan untuk pulang kerumah dan karena aku sedang dalam keadaan mabuk,
teman cewekku yang akhirnya mengantarku pulang. Tidak lama kemudian akhirnya
sampai di rumaku, aku turun dari mobil dan tak lupa mengucapkan terima kasih
pada temanku ini. Saat ku buka pintu aku sudah mendengar pertengkaran
orangtuaku, disana aku sudah merasa muak mendengarnya dan aku langsung menuju
kamarku dan ku banting pintu kamarku sangat keras. Aku langsung membaringkan
diri di atas kasur dan tak lama kemudian aku pun terlelap.
Sang fajar telah terbit dari timur
dan menyilaukan kamarku sehingga dengan malasnya aku segera menuju kamar mandi
untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Setelah selesai memakai baju, lalu aku
turun ke bawah untuk sarapan, namun seperti biasa disana aku hanya bisa
menghela nafas karena di meja makan selalu dan selalu hanya seorang diri,
orangtuaku sudah berangkat ke kantor sejak subuh.
Pada pukul 07.00 aku baru saja
sampai di sekolah,dengan santainya aku menyusuri koridor sekolah menuju kelas,
padahal aku sudah tahu kalau dikelas pasti sudah ada guru yang sedang mengajar
saat aku masuk kelas, sebut saja Ibu Heni sedang berkacak pinggang sambil
melototkan matanya bertanda bahwa dia sangat marah.
“Liyah, sampai kapan kamu akan
terlambat seperti ini hahhhhh???” kata Ibu Heni dengan gentakan kerasnya yang
menggetarkan seisi ruangan kelasku.
“maaf bu, tadi di jalan macet” kataku dengan
santainya menjawab pertanyaan Ibu Heni .
“Sudah jangan banyak bicara, kamu
selalu beralasan seperti itu, sekarang kamu berdiri di depan kelas dan angkat
satu kaki kamu sambil tangan pegang telinga kamu” gentaknya kembali.
Ya,
itulah keseharianku setiap masuk kelas selalu mendapat hukuman.
Pagi telah berganti siang, tepat
pukul 14.30 bel sekolah pun berbunyi, bertanda sudah berakhirnya kegiatan belajar
mengajar hari ini. Aku pun bergegas menuju mobilku dan langsung menyalakan
mobilku menuju salah satu Mall yang ada dikotaku. Disana, aku pergi ke butik
langgananku hanya untuk membeli sepotong atau dua potong baju dress yang aku
suka. Setelah membeli baju, ku sempatkan pergi ke restoran dekat butik itu,
karena dari tadi perutku sudah lapar. Tak terasa waktu pun kini mulai petang,
aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Setelah sampai dirumah ku rebahkan
tubuhku yang lelah ini untuk beristirahat sejenak.
Malam ini, aku bersiap diri di
cermin rias untuk pergi ke tempat favoritku,yakni club malam. Malam ini aku
memakai dress mini di atas lutut yang baru tadi di beli dari butik dan memakai
sepatu hak tinggi berwarna selaras dengan bajuku.
Tidak tahu akan kondisi hatiku
yang sedang tidak karuan membuatku minum yang berlebihan malam ini yang
menyebabkan diriku ini hampir pingsan. Akan tetapi, ketika aku dalam keadaan
setengah sadar ada seorang lelaki yang membawaku keluar, entah dia siapa karena
memang aku tak mengenalnya. Dia membawaku ke dalam mobilnya dan tanpa dugaanku,
ternyata dia punya niat untuk memper***a aku. Dengan keadaanku yang setengah
sadar karena mabuk, aku mulai berteriak meminta tolong.
“tolong aku,,tolongggg!”.
“tidak akan ada orang yang akan
menolongmu nona manis” katanya sambil menyunggingkan senyum sinisnya.
Namun,
tidak lama kemudian, ada seseorang yang akhirnya menolongku. Dia dengan segera
memecahkan kaca mobil dan berusaha membuka pintu mobil itu supaya aku bisa
keluar. Sebelumnya karena seorang lelaki itu sudah memanggil polisi, datanglah
polisi membawa orang yang ingin memper***a aku itu. Ketika aku berdiri, dia
memakaikan jas nya untuk menutupi tubuhku.
“Terima kasih telah menolongku,
jika tidak ada kamu maka akuuuuuuuuu............” tak sempat aku teruskan
ucapannku, karena dia langsung memotong dengan perkataan nya.
“sama-sama, sudahlah yang penting
kamu sekarang tidak apa-apa kan? Lain kali, janganlah kamu pergi ke tempat
haram itu lagi dan jadikan ini sebagai pelajaran untukmu”.
Sungguh
sangat menyentuh hati kata-kata lelaki ini, aku sadar akan kesalahanku tentang
hal ini yang dapat mengundang dosa yang lebih besar lagi. Aku pun tersadar pada
lamunanku ini, karena temanku telah berada di sampingku. Dia pun kemudian berrpamitan
kepadaku dan temanku dan entah berlalu dengan mebil yang dikendarainya. Setelah
dia pergi, akupun diantar oleh temanku pulang menuju rumahku.
Sejak kejadian itu, aku selalu
terbayang akan sosok lelaki yang menolongku itu. Terbayang akan kata-kata yang
sangat menyentuh hatiku itu. Sejak saat itu, sedikit demi sedikit aku pun biasa
meninggalkan kebiasaan burukku pergi ke club malam. Apalagi meminum-minuman
keras.
Suatu hari , saat aku pulang
sekolah aku melihat lelaki itu sedang menolong seorang nenek yang sedang
menyebrangi Zebra Cross.
“sungguh baik hati lelaki itu”.
Kataku dalam hati.
Lalu
aku keluar dari mobil dan menghampirinya.
“Hy”.
“Assalamu’alaikum”. Katanya
mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam”. Jawabku dengan sedikit
menanggung malu.
“oh iya,boleh tahu siapa nama
kamu? Kemarin tidak sempat berkenalan”. Kataku sambil menyodorkan tanganku.
Tetapi
dia tidak menyalami tanganku, tak lain hanya mengangkat tangannya karena
pemikiran dia, kita bukan muhrim.
“namaku Nafis, kamu?”.
“namaku Liyah”. Jawabku sambil
menurunkan tanganku dan tersenyum.
Setelah
lama berbincang-bincang, akhirnya aku memutuskan memberanikan diri untuk
memintanya mengajariku tentang agama.
“Maukah kamu mengajariku semua
tentang Agama Islam? Aku ingin belajar mendekatkan diri kepada Allah SWT.”
Kataku dengan penuh harapan.
“Alhamdulillah, jika kamu ingin
bertaubat, dengan senang hati aku akan mengajarimu”. Jawabnya sambil
menyunggingkan senyum indahnya yang membuat hatiku senang.
Keesokan harinya, setelah pulang
sekolah aku menuju sebuah Masjid yang memang sebelumnya sudah dijanjikannya
itu. Saat aku mulai masuk ke dalam Masjid, hatiku seakkan bergetar akan teringat
dengan dosa-dosaku yang tidak pernah melaksanakan perintah Allah. Namun, ketika
mengingat Nafis yang akan mengajariku aku langsung menuju kedalam Masjid dengan
bersemangat. Lalu ku duduk di depan Nafis, namun karena aku masih memakai baju
seragam dengan rok yang pendek, Nafis pun menutupi kakiku dengan sehelai kain.
“Alangkah baiknya jika kamu
menutupi auratmu itu, Liyah”. Sambil tangannya memberiku sebuah Jilbab Merah.
Ya,
memang aku seorang yang menyukai warna merah dan dia pun mengetahuinya. Dengan
hati yang sangat senang, aku mengambil jilbab itu dan memakaikannya di
kepalaku. Ku lihat dia tersenyum ketika aku memakaikan jilbab itu, entah kenapa
aku merasa sangat senang melihatnya tersenyum seperti itu. Dalam hatiku selalu
bertanya, apakah dia juga mencintaiku seperti aku mencintaiku. Kemudian aku
mulai diajarinya dimulai dari solat, mengaji dan yang lainnya. Hari pun mulai
petang, aku dan dia memutuskan untuk pulang.
Di pagi harinya tepat pukul 06.00,
saat aku berangkat sekolah aku memutuskan untuk memakai baju seragam panjang
dan memakai kerudung. Saat menuruni anak tangga, kulihat orangtuaku yang sedang
menyantap roti bakarnya, menatap heran ke padaku.
“Liyah, apa mamah tidak salah
lihat? Ini kamu nak?” tanya mamahku dengan herannya.
“iya mah, ini Liyah, anak mamah”
jawabku sambil tersenyum, lalu duduk di meja makan.
“cantiknya anak kita ya pah?”
katanya berbicara kepada papahku.
“iya mah” kata papahku menjawab
pertanyaan mamahku.
Setelah bercanda beberapa menit
kemudian ku beranikan untuk berbicara kepada kedua orangtuaku.
“mah,pah aku ingin bicara sama
mamah sama papah”
“bicara apa sayang?” jawab mamahku
“mah, pah aku ingin seperti
anak-anak yang lainnya yang selalu di perhatikan oleh orangtuanya, dan aku
ingin mamah sama papah tidak lagi bertengkar”. Kataku langsung to the point.
“nak, maafkan papah sama mamah,
kami terlalu sibuk sama pekerjaan kami dan jika kamu menginginkan seperti itu,
papah sama mamah akan melakukannya demi kamu nak”. Jawab papahku sambil
terdengar isak tangisnya. Kami bertiga saling berpelukan, dan tak terasa jam
tanganku menunjukan pukul 06.45 bertanda aku dengan segera berangkat menuju
sekolah. Tak lupa aku berpamitan kepada orangtuaku.
“mah, pah aku berangkat sekolah
dulu ya, assalamualaikum”. Pamitku sambil mencium kedua tangan mereka. Sungguh
sangat bahagianya aku, bisa mencium kedua tangan orangtuaku saat berpamitan
sekolah seperti ini.
Saat aku menyusuri koridor
sekolah, semua orang menatapku dengan heran. Seorang yang tadinya di kenal
sebagai anak badung, kini terlihat anggun dengan memakai seragam panjang dengan
balutan jilbab di kepalanya. Aku pun tiba di kelasku, hari ini aku tidak
terlambat seperti biasanya. Teman-teman sekelas pun menatap heran kepadaku,
tetapi aku acuhkan saja mereka dan membaca buku pelajaran. Tak lama kemudian
Ibu heni pun masuk, dan dia sedikit terkejut karena aku sudah berada di kelas
sebelum dia masuk. Dan lebih terkejutnya karena mulai hari ini aku mulai
berjilbab. Kami pun memulai kegiatan belajar mengajar.
Pulang sekolah, kusempatkan pergi
ke mesjid yang biasanya Nafis berada. Tetapi, mengapa saat ini dia tidak ada.
“sudahlah, mungkin hari ini dia
tidak sempat kesini, ya sudahlah mending sekarang mending aku solat dulu
disini”. Kataku sedikit kecewa dan langsung melaksanakan solat dzuhur.
Hari berganti minggu, minggu
berganti bulan. Sudah 2 bulan ini aku tidak mengetahui dimana Nafis berada.
Hatiku sungguh sedih, mengapa disaat aku mencintai seseorang dengan tulus, dia
malah menghilang dari kehidupanku.
Hari ini aku mendapat informasi
bahwa Nafis bekerja di salah satu perusahaan di kotaku. Akupun langsung menuju
ke perusahaan tersebut untuk menanyakan keberadaan Nafis sekarang. Akupun
memasuki kantor dan langsung menanyakan ke bagian Resepsionis.
“selamat siang mba”.
“selamat siang, ada yang bisa saya
bantu?”.
“maaf mba, saya mau nanya apa
disini ada pegawai yang bernama Nafis?”
“ohh, sebentar saya lihat dulu”.
Kata resepsionis tersebut sambil mengecek data yang ada di komputer.
“maaf mba, pegawai yang bernama
Nafis sekitar 2 bulan yang lalu sudah tidak bekerja disini lagi”
“oh begitu, memangnya dia kenapa
mba? Dipecat atau ditugaskan ke perusahaan lain?”
“bukan, memangnya mba tidak tahu sekitar 2 bulan yang lalu
pegawai yang bernama Nafis telah meninggal dunia karena penyakit kanker hati
yang di deritanya”.
Aku sangat terkejut, dan tidak
bisa menerima kenyataan ini sehingga aku tergeletak tak berdaya.